Jumat, 30 November 2012

K.H. Maimun Zubair

Di kalangan para ulama Nahdlatul Ulama, Bahtsul Masail Diniyyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan) merupakan forum untuk berdiskusi, bermusyawarah, dan memutuskan berbagai masalah keagamaan mutakhir dengan merujuk berbagai dalil yang tercantum dalam kitab-kitab klasik. 
Dalam forum seperti itu, Pondok Pesantren Al-Anwar (di Desa Karangmangu, Sarang, Rembang, Jawa Tengah) sangat disegani. Bukan saja karena ketangguhan para santrinya dalam penguasaan hukum Islam, tapi juga karena sosok kiai pengasuhnya yang termasyhur sebagai faqih jempolan. Kiai yang dimaksud adalah K.H. Maimoen Zoebair.
Meski sudah sangat sepuh, 78 tahun, alumnus Ma’had Syaikh Yasin Al-Fadani di Makkah itu masih aktif menebar ilmu dan nasihat kepada umat. Di sela-sela kegiatan mengajarkan kitab Ihya Ulumiddin dan kitab-kitab tasawuf lainnya kepada pada santri senior setiap ba’da subuh dan ashar, Mbah Maimoen, demikian ia biasa dipanggil, masih menyempatkan diri menghadiri undangan ceramah dari kampung ke kampung, dari masjid ke masjid, dari pesantren ke pesantren. 
Dalam berbagai ceramahnya, kearifan Mbah Maimoen selalu tampak. Di sela-sela tausiyahnya tentang ibadah dan muamalah, ia tidak pernah lupa menyuntikkan optimisme kepada umat yang tengah dihantam musibah bertubi-tubi.
Ia memang ulama yang sangat disegani di kalangan NU, kalangan pesantren, dan terutama sekali kalangan kaum muslimin di pesisir utara Jawa. Ceramahnya sarat dengan tinjauan sejarah, dan kaya dengan nuansa fiqih, sehingga membuat betah jamaah pengajian untuk berlama-lama menyimaknya. 
Kiai sepuh beranak 15 (tujuh putra, delapan putri) ini memang unik. Tidak seperti kebanyakan kiai, ia juga sering diminta memberi ceramah dan fatwa untuk urusan nonpesantren. Rumahnya di tepi jalur Pantura tak pernah sepi dari tokoh-tokoh nasional, terutama dari kalangan NU dan PPP, yang sowan minta fatwa politik, nasihat, atau sekadar silaturahmi. Ia memang salah seorang sesepuh warga nahdliyin yang bernaung di bawah partai berlambang Ka’bah itu.
Belum lagi ribuan mantan santrinya yang secara rutin sowan untuk berbagi cerita mengenai kiprah dakwah masing-masing di kampung halaman. Beberapa di antara mereka berhasil menjadi tokoh di daerah masing-masing, seperti K.H. Habib Abdullah Zaki bin Syaikh Al-Kaff (Bandung), K.H. Abdul Adzim (Sidogiri, Pasuruan), K.H. Hafidz (Mojokerto), K.H. Hamzah Ibrahim, K.H. Khayatul Makki (Mantrianom, Banjarnegara), K.H. Dr. Zuhrul Anam (Leler, Banyumas), dan masih banyak lagi.
Jika matahari terbit dari timur, maka mataharinya para santri ini terbit dari Sarang. Pribadi yang santun, jumawa serta rendah hati ini lahir pada hari Kamis, 28 Oktober 1928. Beliau adalah putra pertama dari Kyai Zubair. Seorang Kyai yang tersohor karena kesederhanaan dan sifatnya yang merakyat. Ibundanya adalah putri dari Kyai Ahmad bin Syu'aib, ulama yang kharismatis yang teguh memegang pendirian.
Mbah Moen, begitu orang biasa memanggilnya, adalah insan yang lahir dari gesekan permata dan intan. Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara padan dan seimbang.
Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras. Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang lainnya.
Kesehariannya adalah aktualisasi dari semua itu. Walau banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.
Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab sedari balita ia sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara' yang lain. Dan siapapun zaman itu tidaklah menyangsikan, bahwa ayahnda Kyai Maimoen, Kyai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa'id Al-Yamani serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky. Dua ulama yang kesohor pada saat itu.
Kecemerlangan demi kecermelangan tidak heran menghiasi langkahnya menuju dewasa. Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, Beliau sudah hafal diluar kepala kiab-kitab nadzam, diantaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl. Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi'I, semisal Fathul Qorib, Fathul Mu'in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya.
Pada tahun kemerdekaan, Beliau memulai pengembaraannya guna ngangsu kaweruh ke Pondok Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang terkenal dengan Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, Beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi.
Di pondok Lirboyo, pribadi yang sudah cemerlang ini masih diasah pula selama kurang lebih lima tahun. Waktu yang melelahkan bagi orang kebanyakan, tapi tentu masih belum cukup untuk menegak habis ilmu pengetahuan.
Tanpa kenal batas, Beliau tetap menceburkan dirinya dalam samudra ilmu-ilmu agama. Sampai pada akhirnya, saat menginjak usia 21 tahun, beliau menuruti panggilan jiwanya untuk mengembara ke Makkah Al-Mukarromah. Perjalanan ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin Syu'aib.
Tidak hanya satu, semua mata air ilmu agama dihampirinya. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang ternama dibidangnya, antara lain Sayyid 'Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Al-Imam Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin Al-Quthbi, Syaikh Yasin bin Isa Al- Fadani dan masih banyak lagi.
Dua tahun lebih Beliau menetap di Makkah Al- Mukarromah. Sekembalinya dari Tanah suci, Beliau masih melanjutkan semangatnya untuk "ngangsu kaweruh" yang tak pernah surut. Walau sudah dari Arab, Beliau masih meluangkan waktu untuk memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada Ulama-ulama' besar tanah Jawa saat itu. Diantara yang bisa disebut namanya adalah KH. Baidlowi (mertua beliau), serta KH. Ma'shum, keduanya tinggal di Lasem. Selanjutnya KH. Ali Ma'shum Krapyak Jogjakarta, KH. Bisri Musthofa, Rembang, KH. Abdul Wahhab Hasbullah, KH. Mushlih Mranggen, KH. Abbas, Buntet Cirebon, Sayikh Ihsan, Jampes Kediri dan juga KH. Abul Fadhol, Senori.
Pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri untuk berkhidmat pada ilmu-ilmu agama. Hal itu diiringi dengan berdirinya Pondok Pesantren yang berada disisi kediaman Beliau. Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama Al-Anwar. Satu dari sekian pesantren yang ada di Sarang.
Selain mengajar dan berdakwah, ia masih sempat menulis kitab taqrirat (penetapan hukum suatu masalah) dan syarah (komentar atas kitab salaf). Kitab yang dibuatkan taqrirat olehnya, antara lain, Jawharut Tauhid, Ba’dul ‘Amali, Alfiyah. Sedangkan kitab yang dibuatkan syarah, Syarah ‘Imriti. Semuanya dicetak dalam jumlah terbatas untuk kalangan Pesantren Al-Anwar.
Keharuman nama dan kebesaran Beliau sudah tidak bisa dibatasi lagi dengan peta geografis. Banyak sudah ulama-ulama dan santri yang berhasil "jadi orang" karena ikut di-gulo wentah dalam pesantren Beliau. Sudah terbukti bahwa ilmu-ilmu yang Belaiu miliki tidak cuma membesarkan jiwa Beliau secara pribadi, tapi juga membesarkan setiap santri yang bersungguh-sungguh mengecap tetesan ilmu dari Beliau.
Tiada harapan lain, semoga Allah melindungi Beliau demi kemaslahatan kita bersama di dunia dan akherat. Amin.

Said Agil Husin Munawwar

Said Agil Husin Munawwar adalah Ulama Intektual yang banyak memiliki keahlian sehingga aktifitasnya pun menjadi sangat beragam, sosok ysng dibutuhkan banyak orang, enak diajak bicara dan bersuara merdu, ia lahir di kampung 13 Ulu Palembang pada tanggal 26 Januari 1954 Ayahnya bernama Habib Husin Bin Agil bin Ahmad al-Munawwar lahir 13 Desember 1932, wafat 13 November 1989, ia adalah seorang tokoh Habib yang dihormati di Palembang. 
Sedangkan ibunya Syarifah Sundus binti Muhammad al-Munawwar wafat 20 Februari 2001, ibu Sai Agil Husin Munawwar adalah ibu rumah tangga yang shalihah dan bijaksana, sehingga bisa mengantarkan sang anak seperti Said Agil Husin Munawwar menjadi seorang Hafidz, Qari’, pakar Fiqih dan Ushul Fiqh serta pengajar pescaserjana di berbagai perguruan tinggi juga muballigh dan pengisi berbagai acara di televise, juri MTQ tingkat Internasional di berbagai Negara

Biodata :

Nama : Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al Munawar, MA Lahir : Palembang, 26 Januari 1954 Isteri : Dra. Hj. Fatimah Abu Abdillah Assegaf; Anak : Afaf, Fahed, Tsoroyo, Lulu, Faisal, dan Husain; Ayah : (Alm) K.H. Sayyid Husin bin Agil Ahmad Al Munawar; Ibu : (Almh) Hj. Syarifah Sundus (Utih) binti Muhammad Al Munawar

Pendidikan :

1)    Madrasah Ibtidaiyah Munawariyah 13 Ulu Palembang, 1966
2)    Sekolah Dasar Negeri 8 Palembang, 1967
3)    Madrasah Tsanawiyah AI Ahliyah (4 tahun) Palembang, 1969
4)    Sekolah Persiapan Universitas Islam AI Ahliyah (SPUI) Palembang, 1971
5)    Sekolah Persiapan IAIN Raden Fatah (SPAIN) Palembang, 1971
6)    Fakultas Syari'ah IAIN Raden Fatah Palembang, 1974
7)    LML Fakultas Syari’ah Universitas Islam Madinah Arab Saudi, 1979
8)    Master of Art (MA) Fakultas Syari'ah Universitas Ummu AI Quro Makkah Saudi Arabia, 1983
9)    Ph.D. (Doctor) Fakultas Syari’ah Unversitas Ummu AI Quro Makkah Saudi Arabia, 1987

Karir Sebagai Pengajar :

1)    Dosen tetap Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1989 – sekarang
2)    Dosen Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1989 – sekarang
3)    Dosen Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1989 – sekarang
4)    Dosen Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol, Padang, 1996 – sekarang
5)    Dosen Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara, Medan, 1996 – sekarang
6)    Dosen Program Pascasarjana IAIN Sulthan Syarif Qasim Pekanbaru, Riau, 1996 – sekarang
7)    Dosen Program Pascasarjana IAIN Suroh Ampel, Surabaya, Jawa Timur, 1997 – sekarang
8)    Dosen Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saefuddin, Jambi, 1998 – sekarang
9)    Dosen Program Pascasarjana IAIN Raden Fatah, Palembang, 2000-2001
10) Dosen Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, 1996 – sekarang
11) Dosen Program Pascasarjana Universitas Islam, Malang (UNISMA), 1996 – sekarang
12) Dosen Program Pascasarjana Institut Ilmu AI-Qur'an (IIQ), Jakarta, 1998 – sekarang
13) Dosen Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu AI-Qur'an (IIQ), Jakarta, 1998 – sekarang
14) Dosen Program Pascasarjana Universitas Darul Ulum, Jombang, 1999-2000
15) Dosen Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001
16) Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syari'ah Darunrojah (STISDA), 1990 – sekarang
17) Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Darul Ma'arif, Jakarta, 1992 – sekarang
18) Dosen Institut Ilmu AI-Qur'an (IIQ), Jakarta, 1990 – sekarang
19) Dosen Perguruan Tinggi Ilmu AI-Qur'an (PTIQ), 1990 – sekarang
20) Dosen Fakultas Syari'ah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1994 – sekarang
21) Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1991-1995
22) Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) sekarang Sekolah Tinggi Ilmu Agama (STAI) Al-Hikmah, Jakarta, 1993 – sekarang
23) Dosen Fakultas Syari'ah Institut Agama Islam Jami'at Khair, Jakarta, 1990 – sekarang
24) Dosen Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1992-1995
25) Dosen Fakultas Dakwah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1993 – sekarang
26) Dosen Ma'had 'Alij Pondok Pesantren Salafiah Situbondo, Jawa Tlmur, 1993 – sekarang
27) Dosen Pendidikan Kader Ulama (PKU) Majelis Ulama Indonesia Pusat, 1990-1998
28) Dosen Pendidikan Kader Ulama (PKU) Majelis Tafqquh Fi Al-Din (Majelis Ulama Indonesia) Jakarta, 1991-1997

Karir dalam Kelembagaan :

1)    Ketua Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1991-1998
2)    Direktur Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1999- sekarang
3)    Ketua Program Studi Tafsir-Hadis Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1998 – sekarang
4)    Rektor Institut Agama Islam Jami'at Khaer, 1997 – sekarang Alamat Kantor : Jalan Lapangan Banteng Barat No.3-4, Jakarta Pusat

Alamat Rumah

1)    Jl. Dewi Sartika, Gg Masjid No. 61 Rt.003/04 Cimanggis, Ciputat 15411 Alamat Rumah
2)    Jl. Widya Chandra III No. 12A, Jakarta

Riwayat  Hidup

       
Setelah berkeluarga, semangat belajarnya tak pernah berkurang, apalagi hilang.
Qari andal, hafizh Al-Quran, pakar fiqih dan ushul fiqh, pengajar pascasarjana di berbagai perguruan tinggi, muballigh dan pengisi berbagai acara di televisi, juri MTQ tingkat internasional di berbagai negara. Itulah sebagian di antara sederet atribut dan aktivitas yang disandang Prof. Dr. Habib Said Agil Husin Almunawar. 

Selalu Meraih Peringkat Pertama

Setiap orangtua tentu menginginkan anaknya maju, berhasil melebihi dirinya, paling tidak seperti dirinya. Demikian pula orangtuanya, yang sangat menginginkannya menjadi penerusnya. Dalam menanamkan nilai-nilai hidup, orangtuanya melakukannya melalui pendidikan formal dan nonformal. 
Untuk pembinaan secara nonformal, ia “dititipkan” kepada para tokoh ulama habaib, termasuk guru ayahandanya sendiri, Habib Alwi bin Ahmad Bahsin. Berbagai kitab ia pelajari kepadanya. 
Prestasinya di setiap jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga SPUI Al-Ahliyah, sangat menonjol, selalu meraih peringkat pertama. 
Ketika mengikuti pendidikan di SPUI Al-Ahliyah, pada saat yang sama ia juga belajar di Sekolah Persiapan IAIN (SPIAIN) Raden Fatah Palembang. 
Saat lulus SPUI dan SPIAIN, usianya masih relatif muda, di bawah 17 tahun, karena ia pernah melompat kelas, hanya tiga bulan di satu kelas dan langsung dinaikkan ke kelas berikutnya. Kebanyakan calon mahasiswa yang mendaftar di IAIN berusia sekitar 18-19 tahun, sedangkan umur Said Agil masih di bawah itu. Tapi pihak IAIN tidak dapat menolak, karena ia mempuyai ijazah sekolah agama dan sekolah negeri. Bahkan akhirnya kedua ijazah itu menjadi modal baginya untuk masuk perguruan tinggi itu tanpa test.
Ia diterima di Fakultas Syariah IAIN Raden Fatah dan kemudian meraih gelar sarjana muda tahun 1974 dengan predikat cum laude. Setelah itu, ia memiliki keinginan untuk dapat kuliah di luar negeri. “Jika orang bisa, kenapa saya tidak bisa?” katanya. Apalagi ayahnya juga membolehkannya kuliah di luar negeri. Kalau masih sekolah di dalam negeri, apabila harus berpisah dengan orangtua, ia tidak diizinkan. Ini karena ia anak pertama, yang diharapkan dapat menjadi pengganti sang ayah, sehingga harus mendampinginya, sebagai persiapan dan pengalaman baginya. 
Karena itulah ia tidak pernah mondok di pesantren di Indonesia. Bagi ayahnya, belajar di mana saja sama, jadi tidak mesti belajar di pesantren. “Kamu belajar di Palembang sama saja dengan di tempat-tempat lain,” katanya. Ya, sebagai anak pertama ia memang disiapkan untuk menjadi penggantinya. Tak mengherankan bila di usia empat belas tahun ia sudah mengajar di sekolah untuk membantu ayahnya. 
Karena mendapatkan lampu hijau dari sang ayah, ia pun segera mencari informasi-informasi tentang beasiswa belajar ke luar negeri. 
Hasilnya sungguh menggembirakan. Tak tanggung-tanggung, ia mendapatkan lima beasiswa untuk belajar di lima negara: Kuwait, Qatar, Iran, Mesir, dan Arab Saudi. Maka melaporlah ia kepada sang ayah.            
“Bagaimana ini, Abah, sudah dapat beasiswanya?” 
Mendengar itu, sang ayah bukannya senang, tetapi tampak bingung. Bukan bingung untuk memilihkan salah satu dari lima pilihan itu. Yang dipikirkannya, kalau anak yang menjadi harapannya ini jadi belajar ke luar negeri, sebentar lagi ia akan ditinggalkan. 
Sebenarnya bukan hanya sang ayah yang agak berat melepasnya. Perasaan yang sama juga dirasakan oleh Habib Agil sendiri, karena ia juga tak pernah berpisah dengan orangtua, meskipun sangat ingin belajar di luar negeri 
Tapi kemudian ia bertanya, “Mau pilih yang mana?”
“Mau pilih Saudi saja, di Madinah saja,” jawab Said Agil.
“Mengapa?” 
“Agar kita bisa lebih mudah bertemu atau berkomunikasi. Lagi pula kalau Walid butuh kitab-kitab, lebih mudah mengirimkannya.”  
Maka kemudian berangkatlah Said Agil ke Arab Saudi memulai lembaran baru dalam kehidupannya, belajar di negeri orang dan berpisah untuk sementara dengan kedua orangtuanya. Dua hal yang sama-sama baru baginya. Ia kuliah di Fakultas Syariah Universitas Islam Madinah, universitas Islam tertua di Arab Saudi. 
Selama empat tahun ia menimba ilmu di universitas itu hingga akhirnya mendapatkan gelar LML, sebuah predikat untuk lulusan jurusan hukum Islam. Ia lulus 1979 dengan cum laude dan memperoleh hadiah uang sebanyak seribu riyal dari Raja Arab Saudi.
Karena kemampuan dan prestasinya yang sangat menonjol, ia pun dicalonkan oleh universitas untuk mengikuti ujian S2 di universitas itu. 
Tapi ia punya keinginan masuk ke perguruan tinggi yang lain, untuk mengubah suasana. Pilihannya jatuh pada Universitas King Abdul Azis di Makkah, cabang Universitas King Abdul Azis Jeddah. Ujian masuk ke universitas itu sangat ketat, tapi alhamdulillah ia lulus. 
Tahun 1980 sambil mengurus penggantian visa sesuai perubahan tempat kuliahnya, ia pulang dan menikah dengan Syarifah Fatimah Abu Abdillah Assegaf, kelahiran Tigeneneng, Lampung Selatan, 27 Mei 1957. Setelah menikah, sang istri diboyongnya ke Makkah.
Selama di Makkah mereka dikaruniai empat dari enam anak mereka, yakni Afaf (1981), Fahd (1983), Tsuroya (1984), dan Lulu (1986). Sedangkan dua anak mereka yang terakhir lahir di Jakarta, Faisal (1988) dan Husain (1991). 
Pada tahun 1982 ketika ia sedang memulai tesis, Universitas King Abdul Azis Makkah berubah menjadi Universitas Ummul-Qura Makkah, dan terpisah dari Universitas King Abdul Azis Jeddah. Master of Art dari universitas ini diraihnya tahun 1983. 
Setelah itu, meskipun telah berkeluarga, semangat belajarnya tak pernah berkurang, apalagi hilang. Ia terus melanjutkan pendidikannya ke jenjang S3 hingga akhirnya tahun 1987 memperoleh gelar Ph.D. dengan spesialisasi hukum Islam.

Berguru Kepada Syaikh Yasin Al-Fadani

Selama di Arab Saudi, Habib Said Agil bukan hanya menuntut ilmu di bangku kuliah. Ia menyadari benar bahwa di luar kampus masih sangat banyak sumber ilmu. Maka ia pun tak menyia-nyiakan itu, dengan belajar kepada para tokoh ulama yang ada di sana. Tokoh-tokoh seperti Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Syaikh Yasin Al-Fadani, adalah sebagian di antara sumber-sumber ilmu yang sempat ia hirup ilmunya.
Hubungannya dengan para tokoh ulama tersebut sangat dekat dan banyak kisah dengan mereka yang selalu dikenangnya. Dengan Syaikh Yasin, misalnya, sampai setengah bulan sebelum wafatnya, ia masih sempat bertemu dengannya. Syaikh Yasin kala itu di antaranya mengatakan demikian, “Agil, kaki saya ini sudah bengkak-bengkak.”Saat itu kondisi kesehatan Syaikh Yasin memang sudah sangat lemah. Dalam kesempatan itu Syaikh Yasin memberikan wasiat macam-macam kepadanya. Di antaranya, pesannya untuk terus mengembangkan ilmu dan ijazah yang diberikannya, di mana saja ia berada. Secara khusus Syaikh Yasin menekankan untuk terus mengembangkan ilmu hadits. Di majelisnya Habib Said Agil mengikuti pengajian yang di antaranya membaca kutubus sittah. Yakni, kitab hadits yang menjadi induk atau standar buah karya enam orang imam muhaditsin: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan An-Nasai, dan Sunan Ibnu Majah. 
Kedekatannya dengan Syaikh Yasin membuat Habib Said Agil sempat pula mengajar di Darul Ulum, madrasah yang ia pimpin, selama empat tahun, 1983 sampai 1987. Materi yang diajarkannya adalah tafsir, tajwid, dan tahfizhul Qur’an (menghafal Al-Quran). 
Di bawah bangunan madrasah ini terdapat perpustakaan Syaikh Yasin. Kitab-kitab langka banyak terdapat di situ. Mungkin ia sudah merasa bahwa kitab-kitabnya nanti akan dikuasai orang. “Agil, kitab-kitab ini dibawa pulang saja.” 
Sayangnya, Habib Said Agil tak memanfaatkan tawaran itu. Bukan tak mau kitab-kitab, tapi ia bingung, bagaimana harus membawanya sedangkan kitabnya sendiri saja sudah bertumpuk-tumpuk. 
Tapi kemudian ia menyesal, karena tiga hari setelah Syaikh Yasin wafat, sekolahnya ditutup pemerintah dan perpustakaannya pun dikuasai. 
Syaikh Yasin adalah salah seorang guru yang sangat ia kagumi. Menurutnya, jika diberikan kitab-kitab, ia selalu membacanya sampai tuntas dan diberi koreksi bila ada kesalahan-kesalahan di dalamnya. Hafalannya luar biasa. Lebih dari itu, menurut feeling-nya, ia seorang wali yang tersembunyi, wali mastur. 
Kadang-kadang dalam penelitian-penelitiannya, Habib Said Agil menemukan hadits-hadits yang ia tak ketahui siapa yang meriwayatkannya. Jika mendapatkan kesulitan seperti itu, ia segera mendatangi Syaikh Yasin. Dan baru saja duduk, Syaikh Yasin sudah tahu. “Agil, ente punya musykilah (kesulitan), ya?” 
“Ya, ada hadits-hadits yang belum ditemukan siapa yang meriwayatkannya.” 
Ia pun membacakan hadits-hadits yang dimaksud. 
“Besok pagi ke sini. Nanti malam ana tanya dulu kepada Rasulullah.” 
Habib Said Agil kaget mendengarnya. Untuk meyakinkan, ia bertanya, “Bertanya kepada siapa, Syaikh?”
“Kepada Rasulullah,” katanya menegaskan.
Keesokan harinya ketika ia datang, Syaikh Yasin sudah dapat menyebutkan siapa yang meriwayatkannya dan di kitab apa adanya.

Di Indonesia Kamu lebih Dibutuhkan

Setelah pendidikan S3-nya rampung, Habib Said Agil segera pulang ke tanah air. Tetapi sebelum kembali, ia mendapatkan tawaran dari duta besar di sana untuk menjadi seorang diplomat. 
Setelah dipertimbangkan matang-matang dari berbagai seginya, ia tak mengambil kesempatan itu. Apalagi Munawir Sadzali, menteri agama saat itu, menyarankannya untuk kembali ke Indonesia saja. “Jangan! Cukup saya yang menjadi diplomat, karena di Indonesia kamu lebih dibutuhkan.”
Maka saat tiba di Indonesia, ia melapor ke Menteri Agama, yang kemudian memintanya tinggal di Jakarta. 
Setelah itu pada bulan Desember 1987 ia mengikuti pendaftaran kepegawaian sebagai dosen IAIN Jakarta.
Bulan Maret tahun berikutnya SK kepegawaiannya sudah keluar. 
Pada tahun 1989 ia dipercaya oleh IAIN Jakarta untuk memikirkan dan merintis sebuah jurusan baru, Jurusan Tafsir Hadits. 
Ia pun menyusun kurikulum dan silabusnya, dan tahun 1990 ia pun diangkat sebagai ketua jurusan itu.
Jurusan Tafsir Hadits, yang berada di bawah Fakultas Ushuluddin, terus ia kembangkan hingga menjadi salah satu jurusan yang paling diminati di IAIN itu. Tak mengherankan bila rata-rata lulusan IAIN Jakarta yang terbaik berasal dari jurusan tersebut. 
Setelah lama menjabatnya, pada tahun 1998 ia memutuskan untuk berhenti sebagai ketua jurusan dan berniat mengajar saja di jurusan itu. Namun, ia justru mendapat jabatan baru, sebagai direktur Pascasarjana IAIN Jakarta, setelah direktur sebelumnya, Prof. Dr. Harun Nasution, meninggal dunia di akhir tahun 1998. Ia diangkat melalui SK Menteri Agama tertanggal 25 Agustus 1999. Jabatan ini masih tetap dipegangnya sampai saat ia menjabat menteri agama pada Kabinet Gotong Royong 2001-2004. 
Pada tahun 2000 ia dikukuhkan menjadi guru besar IAIN Jakarta. Pengukuhannya dilakukan 17 Maret 2001.
Selain menjadi dosen tetap di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ia juga mengajar di berbagai perguruan tinggi, antara lain sebagai dosen Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, IAIN Imam Bonjol Padang, IAIN Sumatera Utara, IAIN Sunan Ampel Surabaya. Jadi, kesibukan sebagai seorang dosen merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya, baik sebelum maupun sesudah menjabat menteri. 
Saat menjabat menteri, setiap Jum’at dan Sabtu, ia masih menyempatkan diri mengajar program pascasarjana di berbagai perguruan tinggi di berbagai kota dengan dibantu asisten.
Salah satu kepakaran Habib Said Agil yang sangat diakui orang adalah dalam bidang tilawah Al-Quran. Di usia yang masih muda, sebelum berangkat menimba ilmu di Arab Saudi, ia telah dikenal sebagai seorang qari andal tingkat nasional. 
Sesungguhnya bakat itu telah tampak jauh sebelumnya. Di usia empat tahun ia sudah khatam Al-Quran, dan setahun setelah itu telah menjadi qari cilik yang sering dibawa ke mana-mana membaca Al-Quran.               
Habib Said Agil mengaku tidak pernah berpikir dan membayangkan menjadi seorang menteri. Selama ini ia hanya berpikir dan mengabdi sebagai seorang akademisi yang menekuni ilmu, di samping menjalani berbagai aktivitas lain, di antaranya sebagai muballigh dan ustadz, yang aktif menyampaikan pesan-pesan keagamaan di berbagai kesempatan, termasuk di layar kaca. 
Habib Said Agil dikenal sebagai tokoh moderat yang dapat diterima berbagai kalangan. Sikap dan pendiriannya jelas tergambar dari pemikiran-pemikirannya. Ia mengatakan, agama merupakan benteng spiritual dan moral. Orang yang beragama setiap bertindak selalu berangkat dari basis hati nurani. Setiap melangkah dan melakukan sesuatu senantiasa bertanya kepada hati nurani yang didasari ajaran agama yang dianutnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya orang mendalami agama. Jika mengenal agama secara mendalam, ia akan memiliki sikap toleransi, tidak merasa benar sendiri. Karenanya selama menjabat menteri agama, di antara usaha yang giat dilakukannya adalah mengembangkan dan menyuburkan kerukunan antarumat beragama. Kemudian menumbuhkembangkan forum-forum dialog antarumat beragama.

Penulis Produktif

Meski sibuk dengan berbagai aktivitas, Habib Said Agil masih menunjukkan kelebihannya yang lain, menghasilkan karya-karya tulis yang berbobot. Bahkan ia tergolong penulis yang produktif, baik dalam bentuk buku, artikel, maupun makalah seminar. Di antara buku-buku yang pernah dihasilkannya adalah I`jaz Al-Qur’an dan Metodologi Tafsir; Ushul Fiqh, Sejarah dan Suatu Pengantar;  Ilmu Takhrij Hadits, Sejarah dan Suatu Pergantar; Perkembangan Hukum Islam Madzhab Syafi`i: Studi Qaul Qadim dan Qaul Jadid; Dimensi-dimensi Kehidupan dalam Perspektif Islam. 
Karya-karya ilmiah di bangku kuliahnya adalah Naql Ad-Dam wa Atsaruhu fi Asy-Syariah Al-Islamiyyah (skripsi S1, 1977), Al-Khamru wa Dhararuhu fi Al-Mujtama` Al-Insani (Skripsi S1 di Universitas Islam Madinah, 1979), An-Nadb wa Al-Karahah (Tesis S2, Universitas Ummul Qura, Makkah, 1983), dan Tahqiq Kitab Hawi Al-Kabir li Al-Mawardi (disertasi doktor, Universitas Ummul Qura, Makkah, 1987). Selain menulis buku, artikel, dan makalah seminar, ia pun telah menerjemahkan lebih dari 25 kitab berbahasa Arab.
Dalam kesehariannya, ia pun tak pernah meninggalkan tradisi yang dipelihara para habib dan ulama pada umumnya, yakni membaca wirid dan dzikir. Setiap hari ia tak lupa membaca al-wirdul-lathif, berbagai hizib, juga amalan-amalan yang terdapat dalam kitab Syawariq Al-Anwar, karya Sayyid Muhammad Al-Maliki.

Menyongsong Hari Baru

Sesukses apa pun seseorang, tak selamanya hanya mengalami hal-hal yang menyenangkan. Begitulah pula dengan dirinya. Ia menyadari, Allah-lah yang mengatur segala yang terjadi di dunia ini. 
Ketika menghadapi hal-hal yang sulit, ia selalu membaca lâ ilâha illa anta, subhânaka innî kuntu minazh-zhâlimîn 41 kali setiap selesai shalat. Selain itu, membaca Ya Lathif 450 kali setelah shalat. Setiap malam ia pun tak lupa bertawasul kepada Rasulullah, orangtua, kakek, nenek, dan para gurunya. Setelah itu barulah ia tidur, mengkhiri harinya untuk menyongsong hari yang baru.  

Syeikh 'Umar Hamdan al-Mahrasi (1875- 1949)

Jika melihat sanad keilmuan para tokoh ulama nusantara dan negara-negara muslim lain yang pernah belajar di Makkah atau Madinah pada pertengahan abad ke 20, hampir pasti anda akan menemukan nama Syaikh Umar Hamdan di dalamnya. Beliau memang salah seorang ulama terkemuka dan tokoh penting masa itu

Tak menghairankan jika namanya selalu disebut apabila kita membaca bahan-bahan tentang pengajaran ilmu-ilmu keislaman di masa itu. Sebagaimana abad-abad sebelumnya, Makkah menjadi salah satu pusat keilmuan yang menonjol, yang sentral kegiatannya berlangsung di Masjidil Haram.

Syaikh Umar Hamdan, atau lengkapnya Syaikh Umar bin Hamdan bin Umar bin Hamdan bin Ahmad Al-Mahrasi lahir di Jirbah, Tunisia, pada tahun 1292H (1875M). Melihat tahun kelahirannya, beliau seangkatan dengan Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad, Hadhratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy'ari, Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli, dan banyak lagi tokoh ulama terkemuka lainnya. Sebahagian mereka mempunyai guru yang sama. Aktiviti keilmuan Syeikh Umar Hamdan dilalui dalam masa yang panjang dan melewati berbagai kota dan negeri. Saat berusia 7 tahun, beliau dibawa ayahnya berangkat ke ibu kota negara yang terletak di Afrika Utara itu, iaitu kota Tunis.

Beliau tumbuh dalam lingkungan keluarga yang dikenal keilmuan dan keutamaannya. Sejak kecil beliau telah mempelajari ilmu-ilmu agama, dimulai dengan mempelajari dan menghafal Al-Quran serta mendalami tajwidnya kepada Syaikh Al-Manbaji. Lalu beliau mempelajari dasar-dasar ilmu agama yang lain daripada para ulama di sana.

Pada tahun 1303H (1886M) dalam usia 11 tahun, beliau berhijrah bersama ayahnya ke Makkah dan sekaligus menunaikan haji.

Tahun berikutnya beliau diajak ayahnya berhijrah ke Madinah Al-Munawwarah. Beliau merasa senang dan sesuai tinggal di kota Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi washohbihi wasallam itu. Di Masjid Nabawi beliau menyempurnakan hafalan Al-Quran nya kepada Syaikh Ibrahim Ath-Tharudi selama sekitar sati setengah tahun. Beliau juga mempelajari dan menghafal kitab-kitab matan. Di antaranya, kepada Al-'Allamah As-Sayyid Ahmad bin Ismail Al-Barzanji, mufti Syafi'i di Madinah, beliau belajar kitab Mughni al-Labib, Alfiyyah Ibnu Malik (keduanya dalam ilmu nahwu, 'grammar' bahasa Arab) asy-Syifa' (karya Qadhi 'Iyadh), dan sebahagian besar Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Selama 2 tahun beliau selalu mengikuti pelajaran gurunya ini.

Syeikh Umar Hamdan juga mengambil ilmu dari para tokoh ulama Madinah lainnya. Antara lain, Syaikh Falih bin Muhammad Azh-Zhahiri Al-Mahnawi (mufti Syafi'i di Madinah), Syaikh Muhammad Ali bin Zhahir Al-Watri Al-Madani, Syaikh Abdul Jalil bin Abdus Salam Baradah, Sayyid Muhammad bin Ja'far Al-Kattani, Syaikh Abdul Baqi Al-Anshari.
Setiap mendengar kedatangan seorang alim ke Madinah, ia segera menjumpainya, meminta ijazah dan belajar kitab kepadanya.

Ketika Syaikh Allamah Muhammad Al-Kattani datang ke Madinah, misalnya, ia selalu menyertai dan mengambil ilmu darinya, meskipun saat itu beliau telah dikenal sebagai seorang ahli dalam fiqh Maliki dan ilmu nahwu. Rasa haus akan ilmu membuatnya tidak hanya belajar kepada para ulama laki-laki, tapi juga kepada ulama perempuan. Di antaranya ia pernah mengambil ilmu hadits dari Sayyidah Amatullah binti Abdul Ghani Ad-Dahlawi. Demikian disebutkan oleh Syaikh Umar Abdul Jabbar ketika menjelaskan riwayat hidup Syeikh Umar Hamdan dalam kitabnya, Siyar wa Tarajim, halaman 230-234.

Tidak puas hanya menimba ilmu di Madinah, beliau pun melakukan perjalanan ke Mesir dalam pengembaraan keilmuannya. Guru-gurunya di sini antaranya Syaikh Abdurrahman 'Ulaisy, Syaikh Muhammad Ibrahim As-Saqa, Syaikh Abdul Mu'thi As-Saqa, Syaikh Muhammad Khaththab As-Subki As-Salafi, Syaikh Ahmad Rafi' Ath-Thahawi, Syaikh Abu Muhsin Ali bin Muhammad Al-Bablawi, Syaikh Muhammad Asy-Syafi'i Azh-Zhawahari, Syaikh Abdurrahman Qara'ah (mufti Mesir), Qadhi Syaikh Muhammad Bakhit Al-Muithi'i, Sayyid Khidhir bin Husain At-Tunisi.

Setelah itu beliau kembali ke negerinya, Tunisia, untuk mengambil ilmu dari para tokoh ulamanya yang terkenal. Beliau mengambil ilmu antara lain daripada Syaikhul Islam Abu Hajib dan Syaikh Ath-Thayyib An-Nufair. Beliau pun saling berbagai ilmu dengan para ulama di Universiti Zaitunah, antaranya Syaikh 'Asyur, Syaikh Muhammad bin Mahmud, Syaikh Bairam Ath-Thayyib.

TERCATAT DENGAN TINTA EMAS

Pengembaraan ilmunya tak berhenti sampai di situ. Beliau terus ke Fez, Maghribi. Di kota tua ini beliau berbagi ilmu antara lain dengan Sayyid Al-Mahdi Al-Wazini. Beliau pun mengambil ilmu dari Sayyid Ahmad bin Al-Ma'mun Al-Balghaitsi (wafat 1348H/1929M), pemimpin asyraf (jamak kata syarif, keturunan Sayyidina Hasan, cucu Rasulullah s.a.a.w). Juga kepada Sayyid Abdurrahman bin Zainan, Sayyid Abdul Kabir Al-Kattani dan saudaranya, Sayyid Abdul Hayy Al-Kattani.

Dari sana, beliau melanjutkan perjalanan ke Damsyik, Syria, untuk tujuan yang sama. Antara para gurunya di sini ialah ahli hadits Sayyid Badruddin Al-Hasani, juga Syaikh Abu An-Nadhr Al-Khattib, Syaikh 'Atha' Al-Kasam, Syaikh Muhammad Abul-Khair Abidin.

Kemudian beliau kembali ke Makkah untuk mengambil ilmu dari para ulama yang mengajar di Masjidil Haram. Beliau mengambil ilmu antara lain dari Sayyid Husain Al-Habsyi (mufti Syafi'i di Makkah, wafat tahun 1330H/1912M), Sayyid Bakri Syatha, dan Syaikh Sulaiman Hasbullah. Beliau pun berbagi ilmu dengan Sayyid Abbas Al-Maliki (datuk Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki), dan Syaikh Muhammad Ali Al-Maliki, juga tokoh besar Makkah dan pernah mengadakan perjalanan ke Indonesia. Dalam masa ini beliau mulai mengajar di Masjidil Haram dan Madrasah Al-Falah.

Pada tahun 1343H (1924M), Syeikh Umar Hamdan pergi ke Aden (Yaman Selatan). Di sini, di antaranya dengan perantaraan Sayyid Muhammad Zabarah, beliau mengambil ilmu dari Imam Yahya Hamiduddin, pemimpin Yaman yang sangat terkenal. dengan perantaraan tokoh ulama di atas juga, beliau mengambil ilmu dari Qadhi Husain Al-'Amri.

Tak puas tampaknya jika beliau tidak menimba ilmu di negeri para sayyid, Hadhramaut. Maka beliau pun mengadakan perjalanan ke sana dan mengambil ilmu dari para tokoh ulamanya, di samping juga mengajar di masjid-masjidnya karena beliau sendiri telah menjadi tokoh ulama yang disegani kerana ilmu dan pengalamannya.

Guru-gurunya saat di Hadhramaut antaranya Habib Abu Abdillah Muhammad bin Salim As-Siri, Habib Abdullah bin Hadun Al-Muhdhar, Habib Musthafa bin Ahmad Al-Muhdhar (kekanda Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar, Bondowoso), Habib Muhammad bin Hadun Assegaf, Habib Syaikh bin Muhammad Al-Habsyi, Habib Abdullah bin Thohir Al-Haddad (saudara Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad, mufti Johor). Beliau pun mengambil ilmu dari beberapa ulama perempuan, yakni Habibah Sidah binti Habib Abdullah bin Husain bin Thahir dan saudarinya yang lain, juga Habibah Khadijah binti Ahmad Al-Muhdhar.

Demikianlah, beliau selalu menggali dari berbagai sumber yang dapat ditemui, dan berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Memang begitulah tradisi dan semangat keilmuan para ulama masa itu.

Di mata guru-gurunya, Syeikh Umar Hamdan dikenal sebagai seorang yang memiliki pemahaman ilmu yang bagus, kecermatan, dan penguasaan berbagai disiplin ilmu. Selama di Madinah, beliau benar-benar tekun mendalami sejumlah besar kitab induk dalam berbagai disiplin ilmu seperti tauhid, fiqh, tasawuf, tafsir, sirah Nabawi, nahwu (sintaksis), sharaf (morfologi), balaghah (sastera Arab) dan sebagainya, yang dikuasai dengan sangat baik.

Semua masalah ilmu beliau pelajari, bahkan hal-hal yang sangat mendetail pun tak luput dari perhatiannya. Apa saja yang diucapkan gurunya, diperhatikannya dengan baik. Dan tak jarang beliau mendebat dan mempersoalkannya- tentu dengan cara yang santun.

Dari perjalanannya yang panjang itu, jelaslah bahawa semua pusat ilmu di Timur Tengah sudah dijelajahinya, dan tokoh-tokoh ulama terkemuka telah ditemui dan diambil ilmunya. Gurunya tercatat hampir 100 orang, jumlah yang tidak sedikit.

Beliau dihargai dan dihormati sebagai salah satu panutan dalam keilmuan, baik saat belajar mahupun mengajar. Sejarah telah mencatat namanya dengan tinta emas.

ANTARA MAKKAH DAN MADINAH

Setelah memiliki penguasaan ilmu yang luas dan mendalam dalam berbagai disiplin ilmu, sebahagian besar waktunya dihabiskannya untuk mengajar. Uniknya, ia membahagi waktunya antara Makkah dan Madinah. Di musim panas ia mengajar di Madinah, dengan mengadakan halaqah ilmiah di Masjid Nabawi, tidak jauh dari Raudhah. Halaqahnya merupakan salah satu dari halaqah terbesar di masjid itu.
Sedangkan di musim dingin, ia mengajar di Masjidil Haram, Makkah, dengan mengajar Al-Kutubus Sittah (enam kitab hadits induk).

Sejak tahun 1343H (1924M), ia juga mengajar di Madrasah Ash-Shaulatiyah dan kemudian di Madrasah Al-Falah, yang dijalaninya selama 5 tahun. Bukan hanya di masjid dan di madrasah ia mengabdikan dirinya dalam bidang keilmuan. Rumahnya pun tak ubahnya seperti sebuah madrasah, di situ selalu diadakan diskusi masalah2 ilmu. Para ulama memenuhi kediamannya berdiskusi tentang masalah2 keilmuan, termasuk riwayat hidup para perawi hadits, perjalanan hidup dabn perjuangan ulama, dan karya2 mereka.

Tak menghairankan jika jumlah muridnya banyak dan berasal dari berbagai penjuru dunia. Antara mereka adalah Allamah Syaikh Ibrahim bin Daud Al-Fathani (ulama terkemuka dari daerah Patani, Thailand Selatan), Syaikh Muhammad Yasin Al-Fadani (tokoh ulama terkenal dan sangat produktif, kebanggaan kaum muslimin Indonesia, yang meskipun kelahiran Makkah, orang tuanya berasal dari Padang, (Sumatera Barat), juga ahli falak Allamah Sayyid Ahmad bin Abdullah bin Shadaqah Dahlan (putra Sayyid Abdullah Shadaqah Dahlan, ulama terkemuka kelahiran Makkah yang wafat di Garut pada 1943M), Allamah Sayyid Hasan Al-Masysyath, Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki, Sayyid Amin Kutbi, Sayyid Muhammad Nur Kutbi.

Keseharian Syeikh Umar Hamdan tak pernah lepas dari urusan keilmuan dan ibadah. Beliau tak memikirkan dan peduli dengan urusan dunia, lebih dari tak pedulinya anak-anak kecil terhadap urusan di luar mereka. Beliau telah merasakan kenikmatan dari kegiatannya: belajar dan mengajar. Beliau juga selalu mengisi waktu-waktunya di luar itu dengan membaca Al-Quran, i'tikaf, dan muthala'ah kitab-kitab. Kesukaannya juga membeli kitab-kitab lama, terutama yang berupa tulisan tangan.

Kesibukannya mengajar di masjid, madrasah, dan rumah membuatnya tak sempat menghasilkan karya, selain komentar-komentar singkat pada kitab-kitabnya. Namun beliau memiliki catatan kecil tentang guru-gurunya dan kitab-kitab yang dipelajarinya, yang dinamainya Ithaf Dzawi al-'Irfan bi Ba'dh Asanid Umar Hamdan.

Salah seorang muridnya, Syaikh Muhammad Yasin Al-Fadani, yang dikenal sebagai Musnid Ad-Dunya kerana dipandang memiliki sanad-sanad keilmuan yang terbanyak di dunia, juga menyusun kitab tentang sanad-sanad gurunya ini, Mathmah Al-Wujdan fi Asanid Asy-Syaikh Umar Hamdan, dalam 3 jilid, yang kemudian ia ringkas menjadi satu jilid, dengan judul Ithaf Al-Ikhwan bi Ikhtishar Mathmah Al-Wujdan fi Asanid Asy-Syaikh Umar Hamdan.

Setelah puluhan tahun mengabdikan dirinya dalam dunia keilmuan, pada 9 Syawwal 1368H (4 Ogos 1949M), Syaikh Umar Hamdan kembali ke hadhirat ALLAH SWT di Madinah dan dimaqamkan di Baqi'. Semoga ALLAH mengangkatnya ke kedudukan yang tinggi. Amin. Al-fatihah.

Petikan (dengan sedikit modifikasi) Majalah Kisah Islami alKisah, No.15/Tahun VI/ 14-27 Julai 2008. Ruangan Manaqib muka surat128-133. Indonesia

Al-Habib Umar bin Salim bin Hafiz

Maulid adh-Dhiya al-Laami’

Kitab maulid yang terkini. Dikarang oleh seorang ulama tersohor dewasa ini iaitu al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafiz bin ‘Abdullah bin Abi Bakar bin Aydrus bin Umar bin Aydrus bin Umar bin Abi Bakar bin Aydrus bin al-Hussin ibn al-Syaikh Abi Bakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Abdurrahman al-Saqqaf bin Muhammad Maula al-Dawilah bin ‘Ali bin ‘Alawi bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Shahib al-Mirbath bin ‘Ali Khali’ Qasam bin ‘Alawi bin Muhammad bin ‘Alawi bin ‘Ubaidullah bin Imam al-Muhajir Ahmad bin ‘Isa al-Rumi bin Muhammad al-Naqib bin ‘Ali al-Uraidhi bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Hussin al-Sibth putera kepada Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fathimah al-Zahra’ binti Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم .
Beliau lebih dikenali dengan nama Habib Umar bin Hafiz dan di Indonesia diberi julukan Habib Sejuta Muhibbin. Merupakan keturunan yang ke-39 dari Baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم, melalui salasilah Saidina Husin bin ‘Ali bin Abi Talib رضي الله عنهما
Beliau terlahir Senin, 4 Muharram 1383H bersamaan 27 Mei 1963, di Bandar Tarim, Hadramaut, Yaman. salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan kota ini selama berabad-abad. Beliau dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh Abu Bakr bin Salim. Ayahnya adalah salah seorang ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidup mereka demi penyebaran agama Islam dan pengajaran Hukum Suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam. Beliau secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya.
Demikian pula kedua kakek beliau, al-Habib Salim bin Hafiz dan al-Habib Hafiz bin Abd-Allah yang merupakan para intelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama dan intelektual Muslim pada masanya. Allah seakan menyiapkan kondisi-kondisi yang sesuai bagi al-Habib ‘Umar dalam hal hubungannya dengan para intelektual muslim disekitarnya serta kemuliaan yang muncul dari keluarganya sendiri dan dari lingkungan serta masyarakat dimana ia dibesarkan. Beliau telah mampu menghafal Al Qur’an pada usia yang sangat muda dan ia juga menghafal berbagai teks inti dalam fiqh, hadith, Bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang dipegang teguh oleh begitu banyaknya ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin ‘Alawi bin Shihab dan al-Shaikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim yang terkenal itu.
Ketika berusia 9 tahun, ayahnya Habib Muhammad bin Salim telah ditangkap oleh tentera (regim komunis) dan hilang tanpa berita. Peristiwa tersebut berlaku dihadapan Habib Umar pada hari Jum’at 29 Dhulhijjah tahun 1392H.

Pendidikan:

Beliau mendapat pendidikan awal dari ayahnya yang juga merupakan mufti Tarim al-Ghanna. Selain itu Habib Umar juga belajar dengan guru-guru berikut, antaranya: al-Habib Muhammad bin ‘Alwi bin Syihab, al-Habib al-Munshib Ahmad bin 'Ali bin asy-Syaikh Abu Bakar, al-Habib 'Abdullah bin Syaikh al-'Aydrus, al-Muarrikh al-Bahhaatsah al-Habib 'Abdullah bin Hasan BalFaqih, al-Muarrikh al-Lughawi al-Habib 'Umar bin 'Alwi al-Kaaf, asy-Syaikh al-Mufti Fadhal bin 'Abdur Rahman BaFadhal, asy-Syaikh Tawfiq Aman, saudara kandungnya al-Habib 'Ali al-Masyhur bin Muhammad bin Salim, Habib Salim bin ‘Abdullah asy-Syathiri dan sejumlah ulama lain.
Selain dari ulama Tarim beliau juga mengambil ilmu beliau juga menuntut ilmu dan ijazah daripada banyak ulama di luar kota tersebut seperti di Kota Syihr, al-Baidha` dan juga al-Haramain. Antaranya beliau menuntut ilmu dan menerima ijazah daripada al-Habib Muhammad bin 'Abdullah al-Hadhar [beliau wafat pada tahun 1418H di Mekah dan merupakan mertua kepada Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith], al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith, al-Habib al-Musnid Ibrahim bin 'Umar bin 'Aqil bin Yahya [mufti Ta’iz], al-Habib 'Abdul Qadir bin Ahmad bin 'Abdurrahman as-Saqqaf [merupakan pembimbing ruhani beliau], al-Habib Ahmad Masyhur bin Thaha al-Haddad, al-Habib Abu Bakar al-Aththas bin 'Abdullah al-Habsyi. Beliau juga mendapat ijazah sanad daripada al-Musnid Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani dan al-Muhaddits al-Haramain Sayyid Muhammad ibn Alawi al-Maliki Hasani.
Beliau mengasaskan Rubath Dar al-Musthafa pada tahun 1414H/1994M dengan tiga matlamat:
1.    Mengajar ilmu agama secara bertalaqqi dan menerimanya daripada ahlinya yang bersanad;
2.    Mentazkiyah diri dan memperbaikkan akhlak; dan
3.    Menyebarkan ilmu yang bermanfaat serta berdakwah menyeru kepada Allah Ta’ala.
Secara resminya Darul Musthafa berdiri pada hari Selasa 29 Dhulhijjah 1417H/ 6 Mei 1997.
Selain terkenal sebagai ulama dan da`ie yang sering keluar berdakwah keseluruh dunia. Setiap tahun beliau akan turun berdakwah di Asia Tenggara seperti di Indonesia, Singapura dan Malaysia. Beliau juga merupakan seorang penyair yang mahir. Antara karangannya yang terkenal dan tersebar ke seluruh pelusuk dunia ialah kitab maulidnya الضياء اللامع
Karangan beliau yang lain adalah: الشراب الطهور , رسائل معالم الدعاة , ثقافة الخطيب , إسعاف طالبي رضا الخلاق dan syarah qasidah al-Habib Ibrahim bin ‘Aqil yang bertajuk مشرع المدد القوي في نظم السند العلوي.
Beliau mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya yang meninggal syahid, al-Habib Muhammad bin Salim, yang darinya didapatkan cinta dan perhatiannya yang mendalam pada da’wah dan bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara Allah s.w.t. Ayahnya begitu memperhatikan sang ‘Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam lingkaran ilmu dan dhikir. Namun secara tragis, ketika al-Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk sholat Jum‘ah, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan sang ‘Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan ‘Umar muda menganggap bahwa tanggung jawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang Da‘wah sama seperti seakan-akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya di masa kecil sebelum beliau mati syahid. Sejak itu, dengan sang bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, ia memulai, secara bersemangat, perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk Majelis-majelis dan da’wah.
Perjuangan dan usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang tua di mesjid-mesjid setempat dimana ditawarkan berbagai kesempatan untuk menghafal Al Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional. Ia sesungguhnya telah benar-benar memahami Kitab Suci sehingga ia telah diberikan sesuatu yang khusus dari Allah meskipun usianya masih muda. Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan beliau dikirim ke kota al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara yang menjadikannya jauh dari jangkauan mereka yang ingin mencelakai sang sayyid muda. Disana dimulai babak penting baru dalam perkembangan beliau.
Masuk sekolah Ribat di al-Bayda’ ia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah bimbingan ahli dari yang Mulia al-Habib Muhammad bin ‘Abd-Allah al-Haddar, dan juga dibawah bimbingan ulama mazhab Shafi‘i al-Habib Zain bin Sumait, semoga Allah melindunginya. Janji beliau terpenuhi ketika akhirnya ia ditunjuk sebagai seorang guru tak lama sesudahnya. Ia juga terus melanjutkan perjuangannya yang melelahkan dalam bidang Da‘wah. Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota serta desa-desa disekitarnya. Tiada satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul-Nya s.a.w pada hati mereka seluruhnya. 
Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai dan orang-orang dibimbing. Usaha beliau yang demikian gigih menyebabkannya kekurangan tidur dan istirahat mulai menunjukkan hasil yang besar bagi mereka tersentuh dengan ajarannya, terutama para pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan dangkal, namun kini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan, mereka bangga dengan indentitas baru mereka sebagai orang Islam, mengenakan sorban/selendang Islam dan mulai memusatkan perhatian mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Sang Rasul Pesuruh Allah Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang telah dipengaruhi beliau mulai berkumpul mengelilingi beliau dan membantunya dalam perjuangan da‘wah maupun keteguhan beliau dalam mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di Yaman Utara. 
Pada masa ini, beliau mulai mengunjungi banyak kota-kota maupun masyarakat diseluruh Yaman, mulai dari kota Ta’iz di utara, untuk belajar ilmu dari mufti Ta‘iz al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya yang mulai menunjukkan pada beliau perhatian dan cinta yang besar sebagaimana ia mendapatkan perlakuan yang sama dari Shaikh al-Habib Muhammad al-Haddar sehingga ia memberikan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang agung.
Tak lama setelah itu, beliau melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan ibadah Haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasul s.a.w di Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, beliau diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab dari para ulama terkenal disana, terutama dari al-Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf yang menyaksikan bahwa di dalam diri ‘Umar muda, terdapat semangat pemuda yang penuh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya s.a.w dan sungguh-sungguh tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan terhadap sesama umat manusia sehingga beliau dicintai al-Habib Abdul Qadir salah seorang guru besarnya. Begitu pula beliau diberkahi untuk menerima ilmu dan bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni al-Habib Ahmed Mashur al-Haddad dan al-Habib ‘Attas al-Habashi. Sejak itulah nama al-Habib Umar bin Hafiz mulai tersebar luas terutama dikarenakan kegigihan usaha beliau dalam menyerukan agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional.
Namun kepopuleran dan ketenaran yang besar ini tidak sedikitpun mengurangi usaha pengajaran beliau, bahkan sebaliknya, ini menjadikannya mendapatkan sumber tambahan dimana tujuan-tujuan mulia lainnya dapat dipertahankan. Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah dalam berbagai manifestasinya, dan dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilaku beliau yang paling terlihat jelas sehingga membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Baru. Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya, beliau meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman. Disana ajaran-ajaran beliau mulai tertanam dan diabadikan dengan pembangunan Ribat al-Mustafa.
Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan, dalam hal melengkapi aspek teoritis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran di masa depan. Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan mendasar dari tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar serta melarang yang salah. Dar-al-Mustafa menjadi hadiah beliau bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah dunia diserukan. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya pada murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis. Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Habib Umar.
Mereka ini akan menjadi perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah menjadi perjuangan asli demi memperbaharui ajaran Islam tradisional di abad ke-15 setelah hari kebangkitan. Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen al-Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-orang awam yang kesempatan tersebut dahulunya telah dirampas dari mereka. Habib ‘Umar kini tinggal di Tarim, Yaman dimana beliau mengawasi perkembangan di Dar al-Mustafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun dibawah manajemen beliau. Beliau masih memegang peran aktif dalam penyebaran agama Islam, sedemikian aktifnya sehingga beliau meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan mulianya.

Syeikh Ismail Zain al-Yamani

Nama lengkap kelahirannya

Nama lengkap beliau adalah Alim al-Allamah al-Faqih Syeikh Ismail bin Ismail bin Usman bin Ali bin Salimbin Abdurrahman bin Abi Ghaits bin Ibrahim bin Ismail bin Muhammad az-Zain.

Beliau di lahirkan pada bulan Rabi`ul Awal tahun 1352 hijriyyah di kota Dhahi, kota ini terletak di wilayah Wadi Sardud, kota yang banyak mengeluarkan ulama dan orang yang shaleh-shaleh.

Sifat, tabi`at, dan bentuk tubuhnya

Syeikh Ismail memiliki tubuh yang sedang-sedang saja, tidak kurus dan juga tidak gemuk, pembawaannya selalu santai dan tenang, tidak berbicara kecuali sekedar keperluan, beliau sangat di cintai oleh penduduk kampungnya, bersifat zuhud, wara`, tawadhuk, tidak suka membuangkan masa kepada perkara-perkara yang tidak perlu, menghornati ulama dan orang tua, rajin bekerja dan taat beribadah.

Belajar Ilmu agama

Dari kecilnya telah belajar ilmu agama atas didikkan ayahandanya, banyak sekali kitab-kitab yang telah beliau habiskan, diantara kitab-kitab yang beliau baca dan pelajari adalah ; Safinatu an-Naja, al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah, Matan al-Ajurumiyyah, dan beliau banyak  menghapal  matan-matan kitab.

Selain belajar ilmu agama dari ayahnya, beliau juga telah belajar dari banyak ulama-ulama yang berada di kotanya, kerajinan dan kegigihan beliau terhadap ilmu agama sangat tinggi sekali, setiap disiplin ilmu agama beliau pelajari dengan sungguh-sungguh, dari mulai Fiqih, Tafsir, Hadis, Nahu, Taswuf, Fara`idh, Sorof, TauhidUsul Fiqih, Mantiq, Balaghah `Arudh dan lain-lainnya.

Pada tahun 1375 hijriyah beliau mulai mengajar di kotanya dan di kota az-Zaidiyyah, para guru-gurunya sangat senang sekali, sebab mereka melihat beliau memiliki pemahaman yang lurus, kecerdasan yang tinggi, banyak diantara teman-temannya juga ikut mendengarkan pengajian beliau, para pelajar memadati halaqah pengajiannya.

Berhijrah ke Makkah Mukarramah

Pada tahun 1380 hijriyah beliau berhijrah ke Makkah al-Mukarramah dan berniat untuk menetap di Makkah, dari tahun inilah beliau sibuk untuk mengajar, mengarang kitab, mentela`ah kitab, mulailah ulama-ulama Makkah mengenali keilmuan beliau, disamping itu beliau juga belajar dengan ulama besar yang masih hidup di kota suci tersebut, dari pengajian Syeikh Hasan Masyath, Syeikh Muhammad al-Arabi at-Tabbani, Syeikh Muhammad Yahya Aman, Syeikh Hasan Sa`id Yamani, Syeikh Alawi al-Maliki dan lain-lainnya.

Pada tahun 1382 hijriyyah beliau mulai mengajar di Madrasah as-Solatiyyah al-Hindiyyah yang terkerkenal dengan keberkataannya, beliau diangkat menjadi guru tingkat Tsanawiyah dan Aliyyah dalam jangka 23 tahun.

Disamping beliau mengajar di Madrasah Solatiyyah,beliau juga mengajar di Masjid al-Haram dan di rumah pribadinya, para penuntut ilmu banyak mendatangi pengajian beliau, terlebih-lebih pelajar dari Indonesia, Malaysia dan Fathoni (Thailand ), nama beliau menjadi masyhur di kalangan ulama terlebih-lebih di kalangan ulama Syafi`iyyah di Makkah dan sekitaranya, sehingga beliau menjadi sumber fatwa permasalahan-permasalahan yang baru, waktu beliau di habiskan untuk mengajar dan memberikan fatwa, terkadang-kadang datang dari negara Indonesia permohonan fatwa dari permasahan yang baru.

Para guru-guru beliau :

Diantara guru-guru beliau adalah :

1 - Ayahandanya Ismail bin Usman Zain al-Yamani.
2 - Sayyid Umar `Awadh al-Ahdal.
3 - Sayyid Abdul Qadir Qadiri al-Hasani.
4 - Sayyid Husein bin Muhammad az-Zawak.
5 - Sayyid Muhammad bin Muhammad ibni Abdurrahman al-Qadimi.
6 - Sayyid Muhammad bin Yahya Dum al-Ahdal.
7 - Syeikh Islam Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Ahdal.
8 - Sayyid Muhammad bin Hasan bin Abdul Bar al-Ahdal.
9 - Syeikh Alawi bin Abbas al-Maliki al-Makki.
10 - Syeikh Muhammad al-Arabi at-Tabbani.
11 - Syeikh Hasan Masyath.
12 - Syeikh Muhamad Yahya Aman.
13 - Syeikh Hasan Sa`id Yamani.
14 - Sayyid Muhammad Amin Kutubi.
15 - Syeikh Muhammad Yasin al-Fadani.
16 - Syeikh Amin at-Torablusi.
17 - Syeikh Hasanain Makhluf.
18 - SYeikh Ahmad Hamadah.
19 - Syeikh Ibrahim Abu an-Nur Syafi`i.
20 - Syeikh Muhammad Ilyas.
21 - SYeikh Muhammad Zakaria al-Kandahlawi.
22 - Syeikh Muhammad Yusuf Banuri.
23 - Syeikh Abdullah Sirajuddin.
24 - Syeikh Bakri Rajab.
25 - Syekh Abdullah Shiddiq al-Ghumari.
26 - Syeikh Abdul Aziz Shiddiq al-Ghumari.
27 - Syeikh Abdul Wasi` al-Wasi`i.
28 - Syeikh Muhammad Makki bin Muhammad bin Ja`fari al-Kattani.
29 - Syeikh Muhammad bin Salim bin Hafizh al-Yamani.
30 - Syeikh Abdullah bin Abdul Karim al-Jarafi
Dan lain-lain.

Diantara Murid-murid beliau adalah :

1 - Syeikh Muhammad bin Ismail al-Yamani al-Makki.
2 - Syeikh Ahmad Jamhuri al-Banjari.
3 - Syeikh Zainal Abidin Jefri al-Banjari.
4 - Syeikh Mahmud Said Mamduh al-Qahiri.
5 - Syeikh Ibrahim Zannun al-Mandili
6 - Syeikh Abdul Malik Raihan bin Abdul Qadir al-Mandili.
7 - Syeikh Muhammad Husni Tamrin Jefri al-Banjari.
9 - Syeikh Ali Jum`ah ( Mufti Mesir ).
10 - Syeikh Husein Siraj al-Fathani.
11 - Syeikh Khalid bin Abdul karim Turkistani.
12 - Syeikh Asyrof Ismail at-Tijani.
13 - Syeikh Muhammad Nuruddin al-Banjari.
14 - Syeikh Ibrahim bin Abdullah al-Ahsa`i.
15 - Syeikh Hamid bin Akram al-Bukhari.
16 - Syeikh Abdullah bin Naji al-Makhlafi.
17 - Syrikh Ahmad bin `Asyur al-Makki.
18 - Syeikh Yusuf bin Abdurrahman al-Mar`asyli.
19 - Syeikh Soleh Ahmad bin Muhammad Idris al-Arkani.
20 - Syeikh Abdul Fatah Husein Rowah ( Rawa-red ).

Diantara hasil karangan beliau adalah :

1 - Arba`una Hadisan Fi al-Mawa`izh Wa al-Ahkam.
2 - Irasyadu al-Mu`min Fi Fadha`ili Zikri Rabbi al-`Alamin.
3 - Is`afu at-Thullab Bi Syarhi Nizomi Qawa`idi al-I`rab.
4 - al-Jawabul al-Wadhih as-Syahir Fi al-Ghazawat.
5 - Daiwan al-Khithabi al-Minbariyyah.
6 - Risalah Ziyarah Fi Jabal Uhud.
7 - Risalah Fi Maudhu`i al-Halq Wa at-Taqshir Fi an-Nusuk.
8 - Risalah Haula Istikhdami Mukabbirati as-Shaoti Fi al-Masajid.
9 - Risalah Tata`allaqu Bi as-Shalati Fi at-Tha`irah.
10 - Dhu`u as-Syam`ah Fi Khususiyati al-Jum`ah.
11 - Shilatu al-Khalaf Bi Asanid as-Salaf.

Dan lain-lain.

Setelah menghabiskan masa dan umurnya untuk menebarkan ilmu tanpa jemu dan lelah akhirnya beliau meninggal dunia pada hari rabu 21 Zul Hijjah 1414 hijriyyah, di sembahyangkan setelah shalat subuh di Masjid Haram pada hari kamis kemudian di kuburkan di perkuburan Ma`la berhampiran dengan kuburan Sayyidah Asma` binti Abu Bakkar r.a.

Rujukkan :

1 - Kasyfu al-Ghain An Nabadzati Hayati Ismail az-Zain : halaman :17 ,Syeikh Ismail Zain, Dar al-Qudus.
2 - Mu`jam al-Ma`ajim Wa al-Masya`ikh Wa al-Faharis Wa al-Baramij Wa al-Atsbat : 85 / 3, karangan Doktor Yusuf al-Mar`asyli, Maktabah ar-Rusyd.
3 - `Aqdu al-Jauhar Fi Ulama ae-Rub`i al-Awwal Min al-Qarni al-Khamis `Asyar,:1754 / 2 , Doltor Yusuf al-Mar`asyli , Dar Makrifah, Libanon.

http://nurmunawwir.blogspot.com/
http://aladamyarrantawie.blogspot.com/