Alm. KH. Abdul Hamid, Pasuruan |
KH. Abdul Hamid, salah seorang ulama pemimpin Pesantren Salafiyyah Pasuruan, Jawa Timur, dianugerahi karomah dapat mengetahui apa yang ada di benak orang.
Asmawi, saiah seorang santrinya, gundah gulana. Ia harus melunasi utang kepada panitia pembangunan masjid yang sudah jatuh tempo. Besarnya Rp 300.000, cukup besar untuk ukuran waktu itu, tahun ‘70-an. Ia tidak tahu dan mana uang sebanyak Itu bisa didapat dalam waktu singkat. Saking buntu otaknya, Ia hanya bisa menangis, malu kalau sampai ditagih. Akhirnya dia mengadukan hal tersebut kepada Kiai Hamid.
Dengan lembut Kiai menghibur. “Mengapa sampai menangis segala, kan masih ada Kiai,” katanya, yang lantas menyuruh Asmawi menggoyang pohon kelengkeng yang tumbuh di halaman depan rumah Pak Kiai. Di sana ada dua pohon kelengkeng.
“Kumpulkan daun-daun yang gugur itu dan bawa kemari,” pinta Kiai Hamid.
Setelah menerima daun-daun kelengkeng itu, Kial Hamid memasukkannya ke dalam saku baju. Ketika ditarik keluar, di tangannya tergenggam uang kertas. Kemudian a menyuruh Asmawi melakukan hal sama tapi pada pohon kelengkeng yang lainnya. Dengan cara yang sama pula, daun kelengkeng itu berubah menjadi uang kertas. Setelah dihitung Asmawi, jumlahnya Rp 225.000. Masih kurang Rp 75.000. Tiba-tiba datang seorang tamu menyerahkan uang tunai Rp 75 ribu kepada Kiai Hamid. Jadi klop Rp 300.000
Misykat, lain lagi pengalamannya. Ia sering tertebak apa yang ada di benaknya. “Beliau tahu maunya orang,” katanya. “Saya belum bilang apa-apa, beliau sudah menjawab”.
Tapi yang dialami Said Ahmad, santri lainnya, justru sebaliknya. Ia seolah ingin “menguji” kewalian Kiai Hamid yang telah kesohor itu. Saya ingin tahu, apakah Pak Kiai tahu bahwa saya ingin diberi makan olehnya,” katanya, suatu hari ketika pulang dan Surabaya. Ia tidak percaya terhadap kewalian Kiai Hamid.
Sampai di Pasuruan, dia langsung ke rumah Pak Kiai. Kebetulan saat shalat lsya sudah masuk. Ia pun ikut shalat berjamaah. Usai shalat, dia tidak langsung pulang, melainkan menunggu sampai jamaah pulang semua. Lampu teras rumah Kiai Hamid pun sudah dipadamkan, pertanda pemilik rumah slap-slap beristirahat. Dengan demikian, dia pikir, niatnya berhasil, yaitu bahwa keinginannya untuk ditawari makan oleh Kiai tidak diketahui.
Lalu ia pun melangkahkan kaki meninggalkan masjid. Ternyata dari rumah Kiai Hamid ada yang melambaikan tangan kepadanya. Dengan langkah ragu, Ia pun mendekati Si pelambai. Ternyata tuan rumah sendiri yang memanggilnya. “Makan di sini ya,” kata Kiai Hamid sambil senyum.
Ia pun diajak masuk ke ruang tengah. Di sana hidangan sudah tersaji. “Maaf, lauknya seadanya,” kata Kiai santai. “Sampeyan tidak bilang-bilang, sih.”
Said tersindir. Dan sejak itu dia percaya, Kiai Hamid adalah wali.
Kiai Hamid juga dapat mengetahui apa yang bakal terjadi. Suatu hari Misykat diberi pisang oleh Kiai Hamid dengan pesan agar kulitnya diberikan kepada kambing. “Ini pisang, silakan makan, dan kulitnya kasihkan ke kambing,” kata Kiai Hamid.
Karena dia tidak melihat ada kambing d sekitarnya, kulit pisang itu pun dibuangnya.
Ba’dha ashar dia dipanggil Kiai. “Mana kulit pisang tadi?” tanya Kiai Hamid.
“Saya buang, Kiai,” jawab Misykat ringan.
“Lho, gimana kamu, disuruh memberikan ke kambing, malah dibuang,” kata Kiai.
Tak berapa lama, ada orang mengantar kan seekor kambing kepada Kiai Hamid Misykat melongo.
Pada kesempatan yang lain, Misykat di minta menghadap Nyai agar menyediakan lauk daging ayam. “Tolong bilang sama Bu Nyai, Kiai ingin makan dengan lauk daging ayam,” pesan Pak Kiai.
“Han ini menunya bukan daging ayam, jawab Bu Nyai. “Besok baru motong ayam.”
Ba’da maghrib, Misykat dipanggil lagi. “Maaf, Kiai, Bu Nyai bilang, hari ini menunya bukan daging ayam. Besok baru mau motong ayam,” kata Misykat hati-hati. Ia takut dimarahi.
Namun, apa jawab Kiai Hamid? “Lihat di atas meja, itu kan daging ayam,” katanya. Betul, dari arah meja tercium aroma daging ayam. Rupanya seseorang baru saja mengantarkan ke rumah Pak Kiai.
Lain lagi pengalaman Gus Zaki, salah seorang pengajar pesantren. Ketika tengah diserang rasa sakit maag yang tidak ketulungan, ia sempat mengerang dan bahkan menggelepar di pembaringan. Dokter sudah mengobatinya, namun tak juga kunjung reda nyerinya. Semua keluarga pun sudah datang membezuk. Kiai Hamid, yang diminta datang untuk memberikan doa, kebetulan tidak ada di rumah.
Ketika jam menunjuk angka sebelas malam, Nyonya Zaki merebus air di dapur untuk sarana menghangatkan perut suaminya, dengan cara dimasukkan ke dalam botol lalu digelindingkan di atas perut. Nah, saat tengah sendirian di kamar itulah Kiai Hamid datang berkunjung. Tentu saja Gus Zaki kaget dengan kedatangan yang tiba-tiba itu. Masalahnya, Ia merasa semua pintu sudah ditutup rapat, kok tahu-tahu Ia sudah ada di depannya.
Pada kesempatan itu Kiai Hamid mengulurkan tangan kanannya dan menempelkannya ke perut Gus Zaki, yang dalam posisi berbaring di tempat tidur. Lantas Zaki tidak merasa sakit lagi di perutnya. Dan ketika disuruh duduk, ia pun bisa duduk Padahal tadinya, jangankan duduk, menggeser badan Sedikit saja, sakitnya bukan main.
Usai itu, Kiai Hamid berpesan agar Zaki tidak banyak bergerak dulu.
Sepeninggal Pak Kiai, Zaki baru merasa ada kejanggalan. “Dan mana beliau masuk, apa benar itu tadi Kiai Hamid,” pikirnya. “Kalau betul itu tadi Kiai Hamid, kok tidak memben uang.” Sebab biasanya Pak Kiai tak pernah absen memberi uang.
Ketika tengah dibebani pikiran seperti itu, istrinya masuk. Dia heran melihat suaminya duduk dan dengan posisi kursi dan bantal yang awut-awutan. “Kalau jatuh, bagaimana?” pikirnya. “Siapa yang memindahkan bantal?” tanyanya.
Namun pertanyaan itu tak digubris Zaki. Ia malah balik menyuruh istrinya. “Coba cek semua pintu,” pintanya.
“Semuanya terkunci,” kata istrinya. “Memang ada apa?’
“Baru saja Kiai Hamid datang kemari,” kata Zaki, sambil menceritakan semua yang dialaminya.
Keesokan paginya, ba’da shalat Subuh, Kiai Hamid datang. “Bagaimana keadaanmu, Ki?”
“Alhamdulillah, sudah baik. Tadi malam...,” kata Zaki tapi terputus.
“Sudah, sudah,” kata Pak Kiai sambil meIetakkan telunjuknya di bibir. Beliau lalu menyerahkan uang Rp 500.000 kepada Zaki, lalu pergi.
“Rupanya beliau membayar ‘utangnya’ semalam,” pikir Zaki.
Suatu malam Kiai Hamid sekeluarga pergi ke Madura dengan mengendarai sebuah mobil. Begitu sampai di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, di sana sudah antre 15 unit mobil yang siap menyeberang ke Madura. Sedangkan kapal feri yang akan mengangkut, yang terakhir hari itu, belum tampak.
Daya angkut kapal feri itu adalah 15 unit mobil, tapi Kiai Hamid tetap meminta sopir menunggu di pelataran pelabuhan. Eh, mobil yang antre paling belakang tahu-tahu berputar balik dan ngeloyor pergi meninggalkan pelabuhan. Maka jadilah beliau menyeberang ke Pulau Garam.
Menghajikan Qari
Ketika akan berangkat ke Medan untuk mengikuti MTQ III /1971, H. Solehuddin memberanikan diri pamitan kepada Kiai Hamid. Padahal dua tahun sebelumnya ketika akan ikut ambil bagian dalam event tersebut di Bandung dan Banjarmasin, dia tidak berani, lantaran sikap masyarakat Pasuruan yang belum bisa menerima perlombaan pembacaan Al-Quran dengan dilagukan.“Hadiahnya apa?” Kiai Hamid bertanya.
“Juara pertamanya dikirim pergi haji,” jawabnya sopan.
“Baiklah, saya doakan,” kata Kiai Hamid, sambil berpesan agar sesampai di Medan dia langsung menuju ke Masjid Sultan Usman. “Shalat dua rakaat dan baca doa hasbunallah wa ni’mal wakil 350 kali. Jangan ditambah, dan jangan dikurangi.
Namun, ketika pesan dilaksanakan, Solehuddin tidak percaya diri. Maka pembacaannya ditambah dua kali lipat lagi hingga jumlah seluruhnya 1.050 kali. Hasilnya, dia memang menjadi juara, tapi juara ketiga.
Sepulang dan Medan, dia sowan ke Kiai Hamid untuk melaporkan hasil yang diraihnya di arena MTQ. Beliau bertanya, “Apakah pesan saya dilaksanakan semua?”
“Ya, Kiai,” jawab Soleh.
“Berapa kali?”
“350 kali.”
“Berapa kali 350?”
“Tiga kali.”
“Lha itu, kamu baca tiga kali, ya juara tiga,” ujar Kiai setengah bercanda.
Pada tahun 1974 menghadapi MTQ VII di Surabaya, dia sowan lagi kepada Kiai Hamid dan mohon didoakan agar menjadi juara pertama. Saat itu rumah Kiai Hamid penuh tamu. Belum sempat dia membuka mulut, Pak Kiai berkata keiada tamu-tamunya. “Sampeyan saksikan, ya, Solehudin ini ke Makkah dengan naik Al-Quran.”
Soleh kemudian disuruh membaca Al-Quran di depan mereka semua. Kiai Hamid lalu melepas sorbannya dan menaruhnya di atas kepala Soleh sambil berkata, “Berhasil, berhasil, amin, amin.”
Dengan bekal itu Soleh pergi ke Surabaya dan pulang dengan memboyong gelar juara pertama MTQ VII dan menunaikan ibadah haji sebagai hadiahnya....
Pada suatu hari Kiai As’ad Samsyul Arifin dari Situbondo mengatakan kepada salah seorang muridnya bahwa dia sudah rindu kepada sohibnya, Kiai Hamid, di Pasuruan (jarak Pasuruan-Situbondo 70 km). Tak berapa lama kemudian, pintu rumah Kiai As’ad diketuk orang. Setelah dibuka, ternyata Kiai Hamid telah berdiri di depan pintu.
“Wah, kebetulan, saya memang kangen sama sampeyan,” kata Kiai As’ad. “Berarti telinga sampeyan memang lebar.”
“Bukan begitu, telinga saya tidak lebar,” jawab Kiai Hamid. “Tapi tutuk (mulut) sampeyan yang panjang hingga suara sampeyan terdengar di Pasuruan.”
Kiai Abdul Hamid wafat pada 25 Desember 1985, dalam usia 71 tahun. Jenazahnya dimakamkan di sebelah barat Masjid Agung Pasuruan, berdampingan dengan makam Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaf dan Habib Abdulkadir bin Husen Assegaf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar